Santi Rosmala

main image

Malam itu, empat belas tahun lalu. Kenangan yang takkan terlupakan, setidaknya bagiku yang mengalami kejadian itu. Perjalanan sepulang makan malam di Pizza Hut Jalan Karang Tineung, Bandung. Menyusuri sudut kota Bandung yang dinginnya terasa menusuk tulang, hanya dibalut selapis jaket berbahan jeans yang semakin menambah hawa dinginnya malam itu.

Menuju arah pulang ke tempat kontrakan kami di daerah Dago Pojok, dengan dibonceng motor bekjul alias bebek tahun 70. Motor berwarna merah hasil modifikasi, lebih pendek dari motor pada umumnya. Tapi sukses menjadikannya sebagai motor kesayangan suamiku, saat itu. Motor yang memiliki kapasitas mesin 70cc, dengan tenaga jadul yang hanya bisa dinikmati untuk sekedar jalan santai menikmati suasana kota Bandung dengan segala keindahannya. Sudah dipastikan motor yang kami dikendarai, berjalan pelan, nyaris tak bisa berlari kencang.

Berbincang ringan sambil sesekali menggingil kedinginan, membuatku mengeratkan pelukan yang lumayan sedikit menambah kehangatan. Memasuki jalanan berkelok dan sepi di daerah jalan Babakan Siliwangi, hawa dingin semakin menyusup tubuh. Pohon-pohon besar yang berdiri kokoh di sepanjang jalan, membuat suasana sedikit mencekam.

Terlebih, di kawasan ini pernah ada kisah yang membuat bulu kuduk berdiri setiap melewatinya. Setidaknya bagiku, yang seorang penakut dan pernah mendengarkan cerita mistis tentang anak perempuan yang meninggal tertabrak mobil, ketika turun dari angkot bersama Ibunya. Konon, anak perempuan itu sedang memegang boneka kesayangannya dan boneka tersebut terpental jauh hingga menyangkut di atas sebuah pohon besar. Setelahnya, daerah sekitar jalan itu menjadi rawan kecelakaan dan menjadi angker, katanya.

Sebenarnya sih, nggak mau percaya dengan cerita horor yang kudengar lewat acara di radio setiap malam jum'at tayang on air itu. Tapi, perasaan nggak nyaman itu tak dapat kupungkiri setiap kali melewatinya, aura horor yang terasa karena sepi dan gelapnya jalan itu mungkin, entahlah. Seperti biasanya, doa dan dzikir tak pernah lepas untuk melafalkannya dalam hati.

"Astaghfirullah, Ayah kenapa punggung Bunda berat banget ya?" tanyaku pelan, sambil mempererat pelukan dan semakin menguatkan doa dan dzikir.

"Kenapa, masuk angin kali?" ujar suamiku santai tanpa terganggu pernyataanku sedikitpun.

"Bukan!" aku menjawabnya dengan tegas, dan berusaha menenangkan diri dengan mengatur napas berulang kali. Dalam keadaan seperti itu, tak sedetikpun lepas dari doa dan dzikir yang sebisanya kulafalkan.

"Perbanyak doa aja, tenang gak ada apa-apa koq!" ucap suamiku, sambil mengambil tangan kiriku untuk didekapkan ke dalam genggamannya.

Tak banyak kata yang kuucap sepanjang perjalanan jalan Babakan Siliwangi sampai Mc'd Dago. Tetap fokus berdoa dan membiarkan pungung yang tidak nyaman seperti sedang menggendong beban yang sangat berat. Perjalanan sepertinya lambat dan lama, aku nyaris nggak kuat lagi. Sementara suamiku hanya sesekali mengusap tanganku dan menggenggamnya erat.

"Alhamdulillah, akhirnya..!" seruku nyaring sambil mengucap syukur. Setelah melewati simpang Dago tubuhku kembali terasa ringan seperti keadaan semula.

Tak berselang lama, kami sampai di rumah dengan selamat. Kuceritakan lagi apa yang kualami tadi. Belum pernah kualami kejadian seperti sebelumnya, dan aku juga nggak mau terlalu memikirkannya lebih dalam. Aku hanya bersyukur tidak diperlihatkan sesuatu yang tidak ingin kulihat, semoga saja kejadian seperti itu tak pernah terulang lagi.

Dan menjadikan pengalaman ini sebagai sebuah kisah yang memang Allah takdirkan untukku, bahwa apapun keadaannya, selalu mengingat dan memohonlah pertolongan hanya kepada Allah. Tidak ada yang perlu ditakutkan pula, karena manusia adalah mahluk mulia yang memiliki Sang Maha Pelindung sebaik Allah Ta'ala.


Penulis
Santi Rosmala
Santi Rosmala

Santi Rosmala

© All rights reserved @cso